
TV memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. TV dapat menjadi sumber informasi dan edukasi yang sangat handal. Namun TV juga dapat menjadi sumber hiburan yang tiada henti.
Aktivitas menonton TV memangkas waktu interaksi dalam keluarga, menimbulkan dampak negatif berupa peniruan dan penanaman nilai pada anak-anak dan remaja, berkontribusi pada gaya hidup yang tidak sehat, konsumtif, dsb. Fungsi siaran TV sebagai hiburan jauh lebih menonjol dibanding dengan fungsi yang seharusnya bisa diperankan berupa informasi dan edukasi. Keluarga yang mengalokasikan waktu yang lebih sedikit untuk menonton TV, akan mempunyai lebih banyak waktu untuk aktivitas-aktivitas yang lebih posistif, interaktif dan mempererat hubungan kekeluargaan.
Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah jam menonton TV pada anak-anak usia sekolah dasar berkisar antara 30-35 jam seminggu, ditambah dengan sekitar 10 jam untuk bermain video game. Ini adalah jumlah waktu yang terlalu besar untuk hiburan yang kurang sehat bagi anak dan remaja. Dalam setahun, jumlah jam menonton TV ini mencapai lebih dari 1.500 jam. Bandingkan dengan jumlah jam belajar di sekolah dasar negeri selama 1 tahun yang hanya sekitar 750 jam.
Secara umum adapat dikatakan bahwa ketergantungan anak pada tayangan TV sudah sangat tinggi dan mencapai titik yang mengkhawatirkan. Ada beberapa fakta yang dapat menggambarkan betapa mengkhawatirkannya ketergantungan itu:
* Pertama, belum terbentuk pola kebiasaan menonton TV yang sehat. TV masih menjadi hiburan utama keluarga yang dikonsumsi setiap hari dalam waktu yang panjang tanpa seleksi yang ketat.
* Kedua, kebanyakan isi acara TV kita tidak aman dan tidak sehat untuk anak. Banyak acara TV dengan kandungan materi untuk orang dewasa yang ditayangkan pada jam-jam anak biasa menonton dan kemudian disukai dan ditiru oleh anak-anak. Contoh yang ekstrim, peniruan adegan laga dalam tayangan TV oleh anak telah menimbulkan beberapa korban jiwa.
* Ketiga, lemahnya peraturan bidang penyiaran dan penegakannya. Sejak indutri televisi berkembang pesat, permasalahan yang terkait dengan isi tayangan makin membesar dan hingga kini belum terlihat upaya penanganan secara serius.
Untuk itulah perlu ditumbuhkan sikap kritis anak-anak, remaja, orangtua, dan seleuruh lapisan masyarkat dalam menggunakan televisi, agar dapat terhindar dari dampak negatifnya dan dapat mengoptimalkan fungsi televisi sebagai sumber informasi dan pengetahuan. Sikap kritis tersebut dapat berupa perilaku cerdas dalam mengkonsumsi media, dalam arti dapat memilih isi media yang sesuai, dan dapat membatasi jumlah jam menggunakan media dengan bijak.
Salah satu cara menumbuhkan sikap kritis tersebut adalah dengan mengajarkan Pendidikan Media pada anak melalui guru di sekolah dan orangtua di rumah. Selain akan menumbuhkan sikap kritis, Pendidikan Media juga dapat menjadi penangkal dampak negatif media pada anak. Dalam beberapa tahun ini, Yayasan Pengembangan Medai Anak (YPMA) sedang mengembangkan Pendidikan Media dengan dukungan dari UNICEF.
Pengajaran Pendidikan Media juga dapat dilakukan melalui berbagai jalur seperti seminar pengasuhan anak untuk orangtua, kegiatan semacam pelatihan jurnalistik untuk siswa, melalui jalur kerohanian dan kelompok keagamaan, tulisan populer di media massa, talkshow di radio, pelajaran di sekolah, dan sebagainya.
Pengertian dan tujuan
HARI TANPA TV adalah wujud nyata dari kesadaran akan pentingnya bermedia secara cerdas dan kritis pada seluruh lapisan masyarakat, terutama pada keluarga-keluarga yang memiliki anak usia pra sekolah dan sekolah dasar. Melalui HARI TANPA TV 2008, masyarakat dan terutama keluarga muda diajak untuk kritis dan cerdas dalam mengkonsumsi siaran televisi, dengan cara mengurangi jumlah jam menonton televisi dan pemilihan acara yang aman dan sehat.
HARI TANPA TV adalah hari di mana keluarga-keluarga di Indonesia tidak mengkonsumsi siaran televisi selama sehari penuh agar mereka dapat merasakan bahwa hidup bisa lebih bernilai ketika lebih banyak kegiatan lain dapat dilakukan secara bersama ketimbang menonton televisi. Pengalaman seperti ini sangat penting dimiliki oleh semua anggota keluarga untuk meyakinkan bahwa mereka tetap dapat menjalani kehidupan dengan menyenangkan meski tanpa TV.
Melalui HARI TANPA TV, kita bisa melakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan anak dan keluarga pada televisi. Melalui HARI TANPA TV, kita bisa memperkenalkan kepada anak bahwa dalam menggunakan media termasuk televisi, ada aturannya. Aturan itu setidaknya menyangkut 2 hal: isi media mana yang boleh dan tidak boleh, serta berapa lama dan kapan anak-anak boleh mengakses media.
HARI TANPA TV juga dapat dimaknai sebagai pernyataan keprihatinan kita terhadap isi acara TV yang tidak sehat dan tidak aman untuk anak-anak. Apabila gerakan sehari tidak menonton TV ini diikuti oleh banyak warga masyarakat, maka pihak industri penyiaran pasti akan memperhitungkannya. HARI TANPA TV adalah bentuk pernyataan sikap masyarakat yang selama ini dianggap akan menerima saja apa pun yang ditayangkan oleh stasiun TV.
Target dari gerakan ini adalah keluarga yang memiliki anak usia pra sekolah dan sekolah dasar di seluruh wilayah Indonesia. Barangkali mereka yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan tingkat ekonomi menengah-atas adalah kelompok masyarakat yang lebih siap dalam merespon gerakan ini. Sekalipun demikian, target dari gerakan ini tidak sebatas pada kelompok tersebut. Diharapkan sekitar 1 juta keluarga di seluruh Indonesia mengikuti Gerakan HARI TANPA TV.
Pada awalnya, Gerakan HARI TANPA TV ini merupakan gagasan dari Komunitas TV Sehat dan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang melakukan Kampanye TV Sehat di berbagai sekolah di Jakarta dan Bandung pada tahun 2006. Ternyata ide yang sama juga muncul dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), yang bahkan sudah melakukan sosialisasi ke berbagai acara dan telah mendapat dukungan dari jaringan YKBH. Kedua organisasi (YPMA dan YKBH) memutuskan untuk merealisasikan ide tersebut untuk pertama kalinya pada Hari Anak Nasional, 23 Juli 2006, dan didukung oleh berbagai institusi.
Tahun 2007, HARI TANPA TV diperingati di Jakarta dan di 5 kota besar lainnya yakni Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Sebagai gerakan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi anak dari dampak negatif tayangan TV, maka kegiatan HARI TANPA TV ini mulai mendapatkan dukungan yang makin luas. Dukungan dari media massa cetak dan radio dirasakan sangat membantu dalam menyebarluaskan gagasan ini.
Pada tahun 2008 ini, Koalisi Nasional HARI TANPA TV mengajak sekolah-sekolah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga keagamaan, kelompok masyarakat, individu, dan siapa saja yang peduli dengan perkembangan anak, untuk bersama-sama melaksanakan HARI TANPA TV di wilayahnya masing-masing. Mitra pelaksana HARI TANPA TV 2008 terbuka bagi siapa pun dan di mana pun. Perluasan pelaksanaan Hari Tanpa TV ini sangat penting untuk memperbesar peran serta masyarakat.
1 komentar:
SETUJU! Kalau memang pemerintah berkomit untuk membangun negeri, tegakan aturan pertelivisian Indonesia! Hidup Hari Tanpa TV!
Posting Komentar