Kami menerima Sumbangan Buku, baru maupun layak baca. Relawan kami siap menjemput. Hub. 021.9156.9156

Refleksi Kemerdekaan 63 tahun RI


Arti bebas dari pepatah tersebut adalah tidak ada seorangpun yang bisa memberi dari ketiadaannya. Jadi seseorang tidak akan bisa memberi derma ke pengemis dan orang yang tak mampu jika ia sama sekali tidak punya uang.


Sesedikit yang kita punya kita harus memberikan ke orang lain yang membutuhkan. Contoh di segelintir kelompok masyarakat Jawa yang masih menyediakan kendi-kendi berisi air minum untuk para musafir diluar rumahnya. Bagi saya ini sebenarnya essensi service excelent sesungguhnya. Tanpa diminta mereka telah memberi walaupun nilai air minum itu kecil namun efeknya besar untuk orang yang kehausan. Namun entah benar atau tidak karena berbagai hal yang terjadi kebiasaan itu telah tergeser. Bayangkan jika spirit service dan sikap saling bantu itu terimplementasikan di ruang kerja, yang ada dalam bayangan saya adalah tim super solid.

Namun apa lacur, seringkali persepsi terhadap partner kerja malah terbalik dan berganti dengan berbagai pikiran dan persepsi negatif yang terkadang tanpa sengaja telah menjerumuskan orang lain kepada hal-hal negatif, misal jika ada karyawan baru yang masuk ke lingkungan kerja kita, pikiran negatif kita memandang mereka ini akan menggeser posisi kita sehingga perlu diperlakukan dengan cara dan tekanan kerja khusus. Akibatnya sebaik apapun orang baru itu ia tidak dapat berkembang menjadi hebat (great) dalam bekerja jika di lingkungan kerjanya penuh dengan tekanan bahkan amarah. Ibaratnya batu keraspun jika ditetesi air terus menerus dapat mengikis batu. Bukannya membuat mereka bersemangat dan semakin profesional kita telah membuat mereka semakin kabur akan arti spirit kerja total dan loyal. Pelan namun pasti mereka akan mencontoh peran sebagai seorang yang terus menekan orang lain dan tidak mampu mengendalikan emosinya. Atau mereka bisa berada di kutub yang berlawanan sebagai seorang yang terus menerus ditekan dan tidak akan pernah berkembang. Imbasnya langsung bisa terlihat kepada ketidaknyaman kerja dan turn over karyawan di lingkungan kerja kita yang tinggi.

Dalam lingkungan kerja seperti itu kita dengan mudah menemui orang-orang yang terkena masalah neurotic junk (orang yang mudah sekali terganggu dengan masalah-masalah yang sepele/ sampah) dan psikosomatis (kondisi tubuh yang terganggu akibat beban pikiran dan rasa cemas yang berlebihan). Apapun bentuk akhirnya kesimpulan umum dari kondisi ini adalah (SDM) semuanya sakit dan lingkungan kerja penuh dengan trauma. Sakit dan trauma ini muncul karena problem yang terjadi hanya ditahan (holding on) tidak pernah dilepaskan (letting go). Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah besar bagi rekan-rekan yang bekerja di lingkungan Human Resources.

Trauma bisa terjadi karena proses latihan yang terus menerus dari lingkungan kerjanya seperti atasan yang tidak mudah menerima keadaan, arogan dan terlalu menuntut, lingkungan yang penuh dengan ambisi pribadi dan saling sikut, dan banyak hal di lingkungan kerja yang membuat diri kita selalu terkungkung dan tidak pernah maju. Saya teringat pada suatu peristiwa saat direktur marah ke salah seorang rekan dengan membanting laporan kerjanya. Hari itu juga ia keluar. Saat itu ia berkata harga dirinya telah direndahkan dan dibanting. Padahal tidak ada harga diri yang dibanting hanya kertas laporan. Dari sana kita memetik pelajaran dimana untuk sembuh kita harus mau belajar hal lain, jangan terus berkutat pada masalah yang terjadi.

Saya berpikir jika banyak di Indonesia berperilaku seperti itu apa jadinya SDM kita. Cobalah kita tengok di dunia ini, Singapura yang gurunya saja dulu di masa Sukarno harus import dari Indonesia atau Jepang yang hancur lebur dan porak-poranda setelah di bom atom, dan China yang terkungkung puluhan tahun. Bangsa-bangsa ini daripada terus berpikir negatif kurang SDM, kurang sumber daya alam, atau terbelakang, struktur ekonomi lemah, mereka ternyata memilih terus berpikir positif dan disiplin menata kehidupannya sehingga keinginan menjadi lebih baik, terus maju dan berkembang dapat terwujud. Mereka bukan lagi menjadi negara berkembang namun telah menjadi bangsa hebat. Jadi bukankah contoh ini bisa menjadi bukti pentingnya sikap positif dan terus mengembangkan dirinya bukan untuk sampai kepada good saja namun menjadi great.

Jim Collins di buku terlarisnya Good to Great menulis, “Baik (good) adalah musuhnya hebat (great).” Artinya, apabila kita ingin hebat (great), maka kita tidak boleh merasa sudah cukup baik (good). Begitu kita (bangsa Indonesia) merasa sudah cukup baik, biasanya kita akan enggan untuk memperbaiki diri. Dengan kata lain, merasa sudah cukup baik bisa meninabobokan kita, sehingga kita tak akan pernah menjadi hebat. Maka teruslah berkembang bangsaku, jangan utang lagi namun berikanlah juga setetes air untuk dunia, jangan bertengkar lagi temanku, bersatulah bangun negeri ini. Dan semua itu bermula dari anda yang tergerak dan terus menerus membuat jejaring yang semakin luas. Dirgahayu 63 tahun negeriku tercinta.




STATISTIK REVENUE




Photobucket

Tidak ada komentar: